Selasa, 13 Mei 2008

TEMU ALUMNI NOTARIAT UNPAD

“HAPPY DAY” TEMU KANGEN ALUMNI NOTARIAT UNPAD”
Written by Administrator
Tuesday, 22 April 2008

IKATAN KELUARGA ALUMNI NOTARIAT (IKANO) UNPAD AKAN MENGADAKAN TEMU ALUMNI AKBAR SELURUH ANGKATAN
Hari/Tgl : Sabtu / 24 Mei 2008
Jam :

14.00 s.d. 17.00 WIB -- Rapat Pleno Ikano Unpad

17.00 s.d. 23.00 WIB -- Happy Day -- Api Unggun
Tempat : Hotel Puteri Gunung Jl. Raya Tangkuban Perahu Km. 16-17, Lembang, Bandung
Acara : Rapat Pleno IKANO UNPAD, Temu Wicara, Peluncuran Website dan Buletin, Hiburan, Api Unggun
Biaya partisipasi : Rp.100.000,-/per orang )*


TANPA REKAN KAMI TIDAK BERARTI, PARTISIPASI REKAN ALUMNI NOTARIAT DARI SELURUH
ANGKATAN SANGAT KAMI HARAPKAN DAN NANTIKAN.

Mohon partisipasi dari segenap alumni Notariat UNPAD untuk mendaftarkan diri kepada Panitia Pelaksana :

* OCHA : 08122309195; 022-70295526
* FERRY: 081573302870, 022-70141199
* YUKA : 081322292908; 022-91982298
* NURUL: 08156062070; 022-70273000

Uang partisipasi dapat ditransfer ke Rekening :

* Bank BCA Cab. Sumbersari-Bandung No. Rek. 1571191402 a.n. PETRA BUNAWAN,S.H., M.Kn.; atau
* Bank Mandiri Cab. Braga-Bandung No. Rek. 132-00-9801526-7 a.n. FERRY INDRA BUCHARI, S.H.

(apabila telah ditransfer mohon buktinya di fax + nama dan alamat ke nomor 022-6070754 atau 022-2511266).)* Bagi yang akan menginap di Hotel Putri Gunung harap konfirmasi untuk pemesanan kamar pada panitia.

Hormat Kami Panitia Pelaksana

ttd




ttd


FERRY INDRA BUCHARI, S.H., S.T., M. Kn.

L. NURUL IZZATI, S.H., M.Kn.
K e t u a

Sekretaris


IKANO UNPAD

(Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran)




ttd



BADAR BARABA, S.H, M.H.

Ketua Umum





Catatan :

Biaya Hotel

Type Standar Room Rp. 521.000,-/kamar (Tersedia 12 Kamar)

Type Standart Garden Rp. 596.250,-/kamar


Last Updated ( Saturday, 03 May 2008 )

Selasa, 06 Mei 2008

Bila Salah Mengurus Harta Pailit, Kurator Tetap Harus Bertanggung Jawab

Bila Salah Mengurus Harta Pailit, Kurator Tetap Harus Bertanggung Jawab
[11/10/05]
Meskipun pernyataan pailit dibatalkan atau dicabut, fee untuk kurator tetap akan dibayarkan.

Setelah sempat tertunda, akhirnya Pemerintah menyampaikan jawaban atas pengujian Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemerintah bersikukuh, UU Kepailitan dibuat dan PKPU dibuat untuk melindungi kreditur, debitur dan pihak yang mengurus harta pailit. Secara umum, Pemerintah menepis anggapan bahwa sebagian materi UU Kepailitan dan PKPU melanggar UUD 1945.
Pemerintah, diwakili Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, berpendapat tidak ada niat untuk membuat suatu Undang-Undang yang tidak sesuai kepentingan masyarakat. Demikian pula Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang dibuat untuk memberi kepastian hukum bagi semua pihak dalam proses kepailitan. Kepentingan yang dilindungi bukan hanya kreditur dan debitur tetapi juga kurator sebagai orang yang mengurus harta pailit.

Hamid menepis argumen pemohon bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada kurator. Pada prinsipnya, kata Hamid, siapapun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Kalau kurator melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, maka ia bertanggung jawab.

Pemerintah menganggap kalau ada tuntutan hukum terhadap seorang kurator maka itu merupakan sesuatu yang lazim jika ada unsur kesalahan. “Itu konsekwensi logis tindakan kurator dalam menjalankan profesinya,” tandas Hamid Awaluddin.

Pemerintah menegaskan bahwa kalaupun suatu pernyataan pailit dibatalkan atau dicabut, imbalan jasa kurator (fee) akan tetap diberikan. Caranya, kurator menyampaikan rincian biaya kepada hakim pengawas. Oleh hakim pengawas, rincian tadi disampaikan kepada pengadilan niaga untuk mendapatkan penetapan pembayaran.

Judicial review UU Kepailitan dan PKPU diajukan oleh Tommi S Siregar, seorang kurator. Dalam menjalankan profesinya, Tommi merasa ada ganjalan karena kurangnya perlindungan dan kepastian hukum. Alih-alih mendapat perlindungan, keberadaan beberapa pasal di UU itu malah bisa menjadi bumerang, dalam arti menjadi ancaman. Kurator bisa digugat oleh debitur atau kreditur yang merasa kepentingannya dirugikan. Melalui kuasa hukumnya kantor pengacara Lucas & Partners, Tommi meminta MK menguji pasal 17 ayat (2), pasal 18 ayat (3), pasal 59 ayat (1), pasal 83 ayat (2), pasal 104 ayat (1), pasal 127 ayat (1), serta penjelasan pasal 228 ayat (6) dan pasal 244.
Dalam persidangan 22 Agustus lalu, Pemerintah urung menyampaikan jawaban tertulis atas permohonan Tommi S. Siregar itu. Sebab, kuasa hukum pemohon judicial review memberikan penjelasan tambahan. Draft jawaban yang sudah disiapkan kala itu terpaksa direvisi, dan untuk itu Pemerintah meminta tambahan waktu dua minggu. “Kami akan lakukan perbaikan-perbaikan,” ujar Dirjen Perundang-Undangan Dephukham AA Oka Mahendra, wakil Pemerintah dalam sidang terdahulu. Tetapi dalam persidangan hari ini (11/10), Pemerintah sudah menyampaikan jawaban baik lisan maupun tertulis.

Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia

Pelindung Bagi Kurator Yang Tersangkut Masalah Pidana
[24/1/07].
Divisi Advokasi AKPI dibentuk guna melindungi para kurator yang seringkali dilaporkan secara pidana oleh pihak yang dirugikan dalam pembagian harta pailit.
Ada yang baru di tubuh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Asosiasi ini dalam waktu dekat akan merubah statusnya menjadi badan hukum. Selain berbadan hukum, AKPI dalam strukturnya organisasinya juga akan mempunyai badan kehormatan (sebelumnya dewan kehormatan) dan badan penasehat.

”Semua perubahan ini dilakukan agar AKPI dapat bekerja lebih profesional dan bisa mengatur dirinya lebih baik lagi,” Ketua Umum AKPI Ricardo Simanjuntak kepada Hukumonline yang ditemuinya di kantornya, Jakarta, Jumat (19/1).

Perubahan lainnya yang mencolok dari organisasi yang mempunyai anggota lebih dari 300 orang kurator ini adalah fungsi sebagai advokat. Fungsi ini ditujukan khusus bagi kurator yang mengalami permasalahan hukum. “Kadang-kadang ada kurator yang dilaporkan secara pidana oleh pihak-pihak yang terkait kasus kepailitan. Nah, asosiasi ini berdiri untuk membela mereka,” kata Ricardo.

Ia mengemukakan, untuk mendukung peran advokasi ini, maka akan dibentuk divisi khusus bidang advokasi yang menangani masalah kurator yang dilaporkan secara pidana. Selama ini, divisi advokasi ini belum pernah dibentuk oleh kepengurusan yang lama.

Pendiri Kantor Pengacara Ricardo Simanjuntak & Partner (RSP) ini melihat, dalam praktek di lapangan, sering kali para kurator ini dilaporkan secara pidana oleh pihak yang bersengketa. Biasanya kasus yang menimpa beberapa kurator ini terkait masalah kepengurusan harta budel pailit. Selama ini banyak pihak yang merasa dirugikan dalam pembagian harta budel pailit yang dilakukan oleh kurator.

Pengacara dari RSP Law Firm ini juga menambahkan, selain tetap memperhatikan kebutuhan para anggota, AKPI juga akan lebih kritis terhadap pelaksanaan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).

Menurutnya, salah satu masalah yang masih menjadi persoalan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan kepastian hak dan kewajiban kurator. Artinya, kalau kurator itu tidak melaksanakan pengurusan harta pailit, sementara dia (kurator, red) punya kewajiban untuk itu, maka hal itu memungkinkan seorang kurator untuk digugat secara pribadi.

“Saya tegaskan bahwa UU dan pengadilan harus juga memberikan kepastian dan kewenangan bagi kurator untuk bisa bekerja dengan tepat dan tenang. Kadang kala hal ini memang agak sulit kita dapatkan dari pengadilan,” cetus Ricardo.

Di sisi lain, asosiasi ini menurut Ricardo juga melakukan pendidikan lanjutan (up grading) agar seorang kurator tetap terjaga kualitasnya. Dalam pelaksanaannya, AKPI akan berperan untuk memastikan para kurator bertindak secara profesional dan pada jalur yang sudah ditentukan oleh UU. Makanya AKPI mempunyai kode etik agar seorang kurator tidak keluar jalur dari tugasnya.

Bila seorang kurator melanggar kode etik, maka kurator itu akan dilaporkan ke badan kehormatan. Nantinya badan itu yang akan mensidangkan si kurator tersebut. Dan bila ternyata kurator itu terbukti melanggar kode etik, maka dia akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Sanksinya sendiri berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin sebagai kurator.

Ricardo juga mengungkapkan, kalau profesi kurator selama ini belum dikenal oleh masyarakat secara luas. Bahkan ada yang beranggapan kurator adalah kumpulan kolektor lukisan, sehingga seringkali dirinya diundang pada waktu ada pameran atau lelang lukisan.

Tugas Berat
Sementara itu, pada acara pembukaan Pendidikan Kurator dan Pengurus Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) di Jakarta, Senin (15/1), Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Syamsudin Manan Sinaga mengatakan kurator harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. ”Tidak memihak dan dapat dipercaya oleh semua pihak,” ujarnya.

Menurutnya, kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kurator dan pengurus untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit akan menjadi tugas berat bagi kurator dan pengurus jika tidak didukung dengan kemampuan individual dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Syamsudin mengatakan, UU Kepailitan oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Dengan demikian kasus perebutan harta debitur bisa dihindari apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih utangnya kepada debitor.

Selain itu, kata Syamsudin, ke depan diharapkan kurator dapat menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Juga dapat dihindari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor, seperti berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor.

Pendidikan kurator dan pengurus angkatan ke-XI tersebut diikuti 65 orang, berlangsung selama tiga minggu. Menurut Wakil Ketua Panitia Gunawan Widiatmadja, pendidikan tersebut bertujuan untuk melahirkan kurator dan pengurus yang handal.
Ketua Panitia Pendidikan Kurator dan Pengurus angkatan XI Siti Zaitin Noor menjelaskan, salah satu syarat untuk menjadi kurator dan pengurus harus memiliki surat tanda lulus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi kurator dan pengurus bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM. Saat ini asoasiasi kurator yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM hanya ada dua yakni AKPI dan IKAPI (Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia)

Kurator dan Direksi PT Pailit

Jakarta, Kompas - Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia menegaskan, kurator yang ditunjuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mengurus kasus pailit PT Prudential Life Assurance bukanlah kurator terdaftar di AKPI. Selain itu, kurator juga tidak berhak memberhentikan direksi perusahaan pailit.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Yan Apul yang didampingi Sekretaris Jenderal AKPI Marjan Pane kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/4).

Menurut Yan Apul, dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.08.10.05.10 Tahun 1998 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Kurator dan Pengurus, salah satu syarat kurator terdaftar adalah menjadi anggota AKPI. Dalam peraturan itu, surat tanda terdaftar berlaku selama pendaftar masih menjadi anggota aktif AKPI. "Sejak 1 Maret 2002 kurator Prudensial telah mengundurkan diri dari keanggotaan AKPI. Selama peraturan Menteri Kehakiman itu belum dicabut, berarti yang bersangkutan bukan kurator terdaftar sehingga tidak bisa berpraktik sebagai kurator," ujarnya.

AKPI juga menyesalkan langkah kurator Prudential menghentikan kegiatan operasional perusahaan asuransi tersebut dan memberhentikan direksinya. Tugas kurator adalah mengumpulkan dan mencari aset perusahaan pailit sebanyak-banyaknya agar dapat digunakan membayar kewajiban perusahaan pailit kepada kreditornya. Menutup kegiatan operasional justru membuat kelangsungan usaha terhenti dan para pemegang polis panik sehingga aset perusahaan malah berkurang.

Tindakan kurator memberhentikan direksi juga dinilai melanggar hukum karena kewenangan mengangkat dan memberhentikan tetap ada pada rapat umum pemegang saham meski perusahaan dipailitkan. Sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan, kurator hanya terkait dengan pemutusan hubungan kerja karyawan.(was)

Kamis, 24 April 2008

Vexatious Litigation

Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif
Oleh: Al. Wisnubroto *) [8/4/08]
Siapa yang tidak kesal atau jengkel bila tiba-tiba seseorang digugat (perdata) atau dilaporkan/diadukan (pidana) melalui institusi peradilan sehingga harus terukuras energinya meladeni gugatan atau laporan tersebut?
Dalam hal demikian maka isu Vexatious Litigation yang ditulis oleh Hendra Setiawan Boen (Kolom hukumonline 13/3/08) beserta tanggapan-tanggapannya menjadi menarik untuk dibahas dalam berbagai perspektif.

Dalam beberapa hal penulis sepakat dengan Saudara Boen bahwa gugatan (dalam perkara perdata) atau laporan (dalam proses perkara pidana) tanpa landasan visi yang jelas, terlebih yang bermuatan iktikat buruk (dendam, konspirasi jahat, ekploitasi ekonomi dll.), harus diminimalisasir atau bahkan harus ditanggulangi. Namun demikian dalam tulisan tersebut diakui pula bahwa tidak semua “gugatan coba-coba” terkandung iktikat jahat. Bahkan bisa jadi ada “gugatan eksperimen” yang bertujuan mulia sebagaimana lazim dilakukan dalam gerakan bantuan hukum struktural oleh berbagai LSM. Sehingga sebenarnya kurang tepat bila gugatan yang dilakukan dalam kerangka visi pemberdayaan masyarakat atau pendayagunaan lembaga peradilan serta merta dimasukkan sebagai vexatious litigation.

Bahasan mengenai upaya meminimalisir vexatious litigation semakin menarik dengan tulisan pembanding dari Ahmad Rosadi Harahap yang dimuat dalam media yang sama (hukumonline, 31/03/08). Dalam tulisan pembanding tersebut Rosadi berupaya mengkounter pandangan tulisan Boen, terutama yang terkait dengan ide mempositifkan larangan Vexatious Litigation dalam kebijakan legislasi. Menurut Rosadi solusi yang ditawarkan oleh Boen niscaya akan mengakibatkan budaya legisme hakim kita akan semakin menjauh dari zeitsgeist masyarakatnya ketika hukum positif tidak responsif bagi rasa keadilan, serta tergugat (seringkali negara dan otoritas publiknya) dapat dengan nyaman berlindung di balik jubah hakim lewat prinsip vexatious litigation. Bahkan menurut Rosadi: “Sadar atau tidak, saran saudara Boen itu sesungguhnya sedang menciptakan “hakim-hakim” dengan putusan yang didasarkan pada pertimbangan hukum tunggal – vexatious litigation. Selanjutnya, kita tinggal menunggu munculnya suatu rezim diktator baru: judicial dictatorship”.

Singkatnya barangkali tulisan Rosadi terasa lebih utuh, namun bukan berarti tulisan Boen serta merta keliru. Hal tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing. Nampaknya gagasan pemikiran dalam tulisan Boen sangat dipengaruhi paradigma hukum modern yang kental dengan logika legal-positivistik, sehingga wajar saja bila pandangan-pandangan lebih bersifat linier, masinal dan atomistik. Sekali lagi dari sudut pandang sistem hukum modern yang meyakini adanya kepastian hukum dalam rangka mewujudkan ketertiban masyarakat, hal tersebut tidaklah keliru.

Keterbatasan Hukum Modern
Masalah eksistensi hukum modern tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya yang seiring sejalan dengan perkembangan sosial dan kultural di Eropa. Hukum Modern muncul di Eropa setelah melalui proses perjalanan yang sangat panjang dan “berdarah-darah” (istilah dari Prof. Satjipto Rahardjo).

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan:

1. Formal rules: tertulis dalam bentuk peraturan peraundang-undangan;
2. Procedures: dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat;
3. Methodologist: mendewakan logika dalam penerapannya;
4. Bureaucreacy: hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan Yudikatif).

Munculnya ciri-ciri tersebut karena konteks sejarah munculnya hukum modern dalam Constitutional State sebagai reaksi terhadap “kekacauan” yang diakibatkan oleh sistem hukum era sebelumnya, yakni Absolutisme (Roberto M. Unger, Law in Modern Society, 1976). Sehingga pada awalnya memang model hukum modern ini cukup efektif dalam upaya menertibkan masyarakat.

Namun dalam perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin tidak “ampuh” dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial akibat pesatnya kemajuan teknologi.

Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi perubahan sosial akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi adalah sifat hukum modern yang cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan dengan sendirinya sulit untuk menjadi responsif terhadap perkembangan rasa keadilan.

Kenyataan yang sangat tidak menguntungkan adalah keberadaan hukum modern di Indonesia. Apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya, hukum modern yang “dipaksakan” berlaku dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak zaman kolonial (melalui “bewuste rechtspolitiek”), hingga Indonesia merdeka (Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, 1990), adalah ibarat “benda asing” yang tidak tumbuh secara alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (not developed from within but imposed from out side).

Lebih celaka lagi banyak yuris kita yang menganggap civil law yang notabene berasal dari tradisi Eropa Kontinental sebagai sistem hukum Indonesia dan memperlakukannya secara strict dan harus ‘steril’ sehingga seringkali “alergi” terhadap pengaruh sistem lain.

Fenomena tersebut nampak misalnya pada penalaran Saudara Boen ketika mempersoalkan “cara berhukum” pihak-pihak yang mengajukan vexatious litigation terutama hakim yang mengabulkan gugatan tersebut dalam putusannya yang bersifat kontroversial. Cara berhukum yang demikian dianggap bertentangan dengan sistem hukum Indonesia yang menurut tulisan Boen lebih berciri pada sistem civil law, sehingga “mengharamkan” terobosan penemuan hukum yang disebut-sebut sebagai judge made law, citizen law suit dan berbagai hal yang berasal dari sistem common law.

Dalam perkembangan peradaban yang semakin global ini sebenarnya semakin tidak relevan membuat dikotomi sistem hukum civil law, common law maupun berbagai sistem hukum lainnya secara hitam putih. Dalam tataran praksis yang berkembang di berbagai negara justru lebih nampak sebagai “mixed system” (Rene David & J.E.C. Brierly, Major Legal Systems in The World Today, 1978). Di Indonesia misalnya, sekalipun bila dirunut tatanan hukum modernnya banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental (terutama Belanda), namun keberadaan sistem hukum adat dan sistem hukum Islam juga berlaku. Bahkan belakangan di bidang tertentu model-model yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon juga mulai diadopsi, misalnya berbagai aturan di bidang hukum bisnis, model gugatan class action, citizen law suit, model penalaran hukum yang menghasilkan “judge made law”, hingga munculnya lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang formatnya yang mirip dengan tribunal.

Sebenarnya dalam perspektif realitas sosial dan pembaharuan hukum Indonesia, diadopsinya berbagai model, konsep atau sistem hukum tersebut adalah sesuatu yang wajar dan bersifat alamiah. Apalagi bila menyadari bahwa masyakat Indonesia bersifat plural dan prismatik sehingga hubungan-hubungan hukumnya bersifat lebih kompleks disamping tentu saja pengaruh dari transformasi global di berbagai bidang.

Sayang, dalam tataran politik hukum, upaya menformulasikan substansi hukum adat dalam sistem hukum modern atau yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah pengadopsian susbstansi hukum yang berasal dari sistem common law ke dalam sistem hukum Indonesia yang diyakini bertradisi civil law, tidak pernah tuntas dan konsisten serta utuh (menyeluruh). Wajar saja bila “perkawinan” sistem hukum yang tidak sempurna tersebut selalu menimbulkan permasalahan baik dalam tataran konsep pemikiran maupun dalam implementasinya, baik dalam lingkup akademis maupun praktis. Terutama bila cara pandangnya berperspektif legal-positivistik yang kaku dan “hitam-putih”.

Jadi apakah cukup arif bila serta-merta “menuduh” terobosan yang dilakukan LSM atau koalisi masyarakat (misalnya saat mengajukan citizen law suit) sebagai “vexatious litigation” dan penemuan hukum (yang diaku sebagai “judge made law”) oleh hakim yang mengabulkan terobosan tersebut sebagai putusan yang “aneh bin ajaib”, lantaran tidak steril lagi sebagai civil law system?

Cara berhukum dengan logika penalaran “kaca mata kuda” tersebut memang ciri khas dari sistem hukum modern (legal-positivistik; legistik-formalistik), namun sekaligus merupakan ancaman kegagalan dalam mewujudkan keadilan yang substantif, khususnya bagi pihak yang lemah dan kaum marginal. Sistem hukum modern yang lahir dari alam pikir liberal dan kapitalisme tak urung hanya akan menguntungkan pihak yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik (the ‘haves’ come out ahead atau “asu gedhe menang kerahe”). Lalu apakah lantaran tidak ada “sistem”nya atau dianggap sistemnya “salah kamar”, masyarakat menjadi kehilangan hak untuk mengakses keadilan melalui mekanisme gugatan perdata? Bahkan (bila usulan mempositifkan vexatious litigation diterima) salah-salah bisa terkena sanksi karena didakwa telah melakukan vexatious litigation.

Perspektif Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif mulai diperkenalkan oleh Profesor Satjipto Rahardjo lebih dari lima tahun lalu. Awalnya gagasan tersebut tercetus dari kegundahan intelektual terhadap hegemoni hukum modern yang legal-positivistik dalam berhukum di Indonesia, dan semakin menunjukkan keterpurukan dan kegagalan dalam mengatasi berbagai kasus hukum di Indonesia.

Sejak dicetuskan pada 2002, telah bermunculan banyak tulisan yang mencoba mengeksplorasi gagasan hukum progresif dalam aspek keilmuan. Sekalipun ide hukum progresif belum bisa dipandang sebagai teori yang final (sesuai dengan hakekatnya sebagai law in making atau on going process), namun dari sedemikian banyak tulisan dan kajian mengenai hukum progresif dapat ditarik beberapa pokok gagasan. Pertama, paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia yang mengandung makna bahwa manusia merupakan sentral dalam cara berhukum.

Kedua, prinsip-prinsip hukum progresif adalah: tidak ingin mempertahankan status quo dalam berhukum; mengutamakan faktor dan peran manusia di atas hukum; membaca peraturan adalah membaca maknanya bukan teks-nya; membebaskan dari kelaziman yang keliru dan menghambat pencapaian tujuan hukum. Selain itu, mengutamakan modal empati, rasa-perasaan, dedikasi, kesungguhan, kejujuran dan keberanian; dan hukum bukan mesin namun lebih merupakan jerih payah manusia yang bernurani.

Dengan demikian hukum progresif merubah cara berhukum dari sekedar menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual.

Dalam perpektif hukum progresif maka yang terjadi dalam positivisasi hukum sebenarnya adalah pereduksian makna. Dengan demikian gagasan atau usulan untuk menformalkan vexatious litigation dalam sebuah produk legislasi sebenarnya justru membatasi atau mempersempit makna apa yang sesungguhnya benar-benar merupakan gugatan iseng, yaitu gugatan yang tujuannya hanya semata-mata untuk mengganggu pihak lawan. Apalagi proses pembuatan peraturan perundang-undangan cenderung merupakan proses politik dimana banyak muatan kepentingan yang “beradu” kekuatan.

Aturan formal mengenai vexatious litigation (disertai dengan sanksinya) bila diaplikasikan di lembaga peradilan dimana hakim-hakimnya juga berpandangan legal-positivistik (sekedar bouche de la loi) dikhawatirkan akan memberangus gugatan yang bersubtansikan visi bantuan hukum struktural dalam rangka memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi.

Bila hakim harus membuat terobosan untuk membuat penemuan hukum yang tidak lazim dalam putusannya, yang mengabulkan gugatan “eksperimental” elemen masyarakat, dimana terobosan itu dalam konteks visi terwujudnya keadilan substanstif, maka jangan terburu berprasangka bahwa hakim tersebut sengaja membuat putusan kontroversi untuk menaikkan pamor.

Dalam perspektif hukum progresif seorang jurist memang harus mampu berhukum dengan dilandasi sikap compassion, empathy, sincerety dan dare (Satjipto Rahardjo, Arsenal Hukum Progresif, 2007), sehingga manusia pengemban hukum progresif dituntut untuk melakukan “lompatan” lebih dari sekedar tugas dan kewenangan yang diberikan oleh teks aturan formal (doing to the utmost atau dalam bahasa para leluhur kita: “mesu budi”).

Dalam sejarah peradilan kita pernah memiliki nama-nama hakim, jaksa, polisi dan advokat yang dalam menjalankan profesinya mau ber-mesu budi membuat terobosan yang tidak lazim (dari kaca mata sistem hukum positif) dalam rangka menegakkan keadilan. Satu-dua memang terangkat pamornya, namun kebanyakan justru harus menanggung resiko berat. Alih-alih naik pamor (karena kebanyakan kiprah mereka berada dalam tataran lokal sehingga tidak terekspos), nasib mereka justru tidak terlalu baik. Dalam pusaran “sistem” yang korup, hakim, jaksa, polisi dan advokat yang progresif justru sering dikucilkan oleh lingkungan profesinya.

Hakekat hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar bersifat “vexing” (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalam memberikan makna di balik sebuah gugatan.

-------------
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Advokat, anggota Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP).

(Mys)

Rabu, 23 April 2008

OLAHRAGA : Sepakbola

21/04/08 00:12
Kaka dan Del Piero Bersinar di Liga Italia
Milan (ANTARA News) - Kaka, penyerang AC Milan dan Alessandro Del Piero, penyerang Juventus, sama-sama tampil bersinar dengan mencetak hatrik guna mengantar kemenangan besar tim mereka dalam lanjutan kompetisi sepak bola Liga Italia, Minggu.Kaka mencetak tiga gol untuk membawa kemenangan AC Milan dengan skor 5-1 atas Reggina, tim papan bawah yang terancam degradasi, dan sekaligus menjaga peluang ke Liga Champions musim depan.Seperti halnya Kaka, Del Piero pada saat yang sama juga mencatat hatrik ketika mengantar kemenangan 4-0 Juventus atas tuan rumah Atalanta. Dengan hasil tersebut, Juventus yang bertengger di peringkat ketiga klasemen sementara, juga sudah hampir memastikan diri ke Liga Champions.AC Milan saat ini berada di peringkat kelima klasemen, terpaut 12 angka di belakang Juventus dengan sisa empat pertandingan. Kondisi tersebut menjadi mustahil bagi Milan untuk mengejar Juve.Pada pertandingan lainnya, peringkat keenam Sampdoria yang mempunyai nilai sama dengan AC Milan, mencatat kemenangan 3-0 atas tim tamu Udinese.Fiorentina, di peringkat keempat dan calon peserta Liga Champions, unggul empat angka dari AC Milan dan Sampdoria setelah menaklukkan Palermo 1-0 pada pertandingan Sabtu. Sampdoria akan bertandang ke Fiorentina minggu depan.Pimpinan klasemen Inter Milan akan berhadapan dengan klub papan tengah Torino dengan harapan untuk memperbesar selisih keunggulan dengan saingan terdekat AS Roma yang pada pertandingan Sabtu dipaksa imbang oleh klub papan bawah Livorno 1-1.AS Roma, tim yang diasuh pelatih Luciano Spalletti itu harus membayar mahal hasil imbang dengan Livorno karena kehilangan Fracesco Totti yang mengalami cedera lutut yang cukup parah. (*)
COPYRIGHT © 2008

Senin, 21 April 2008

TEMASEK, Apakah Kepemilikan Silang = Praktek Monopoli?

Kasus Temasek: Ramai-ramai Ajukan Banding
21Nov07
HukumOnline.com [20/11/07] Vonis bersalah KPPU terhadap Temasek Holdings, Pte. Ltd cs dan Telkomsel, terus menuai protes. Para pihak Temasek cs, ramai-ramai berencana mengajukan banding. Perkara ini mungkin pula berujung pada arbitrase.
Tentu saja yang paling terpukul adalah Temasek. Dalam rilisnya, Temasek Holdings menegaskan pihaknya tidak bersalah dan akan melawan keputusan KPPU. “Kami tidak bersalah. Keputusan tersebut jelas-jelas tidak masuk akal dan mengabaikan semua fakta. Tuduhan terhadap Temasek sama sekali tidak berdasar,” tegas Direktur Eksekutif Temasek Simon Israel dalam rilisnya, Selasa (20/11).
“Temasek tidak memiliki saham di Indosat dan Telkomsel, dan kami tidak terlibat sama sekali dalam keputusan bisnis dan operasional mereka,” tegas Simon. Ia menjelaskan, Telkomsel merupakan perusahaan dikontrol oleh Pemerintah Indonesia yang juga memiliki satu saham emas di Indosat. “Industri telekomunikasi di Indonesia dibatasi oleh peraturan. Tidaklah mungkin jika Pemerintah Indonesia dan para regulator telekomunikasi mengizinkan terjadinya penetapan tarif ataupun menyebabkan kerugian bagi konsumen. Temasek akan berjuang melawan keputusan tersebut,” pungkasnya. Sikap sama ditunjukkan manajemen PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). “Pada prinsipnya Telkomsel selalu patuh pada regulasi dan keputusan hukum, Namun dalam rangka mendapatkan kejelasan Telkomsel akan mengajukan banding,” ujar Dirut Telkomsel Kiskenda Suryahardja dalam siaran persnya, Selasa (20/11). Kiskenda menyakinkan bahwa selama ini Telkomsel selalu patuh pada regulasi dan tidak merasa melakukan praktek pengenaan tarif yang tinggi. Karena pengenaan tarif Telkomsel mengacu pada peraturan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). “Selama ini regulator tidak pernah mempermasalahkannya (tarif Telkomsel, red),” ujarnya. Saat ini, ujarnya, Telkomsel tengah melakukan kajian internal dan akan dikonsultasikan dengan pemegang saham. Rencana Telkomsel didukung oleh Singapore Telecommunications (SingTel) yang akan mempertahankan investasinya di Indonesia dan siap melawan keputusan KPPU. Saat itu, SingTel memiliki 35 persen saham Telkomsel melalui unit usaha yang dimiliki sepenuhnya, SingTel Mobile. Sementara itu, Temasek memiliki 56% saham SingTel. Sisa saham Telkomsel 65% dimiliki oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). “SingTel dan SingTel Mobile akan mempelajari putusan itu dan akan mengambil langkah yang penting untuk melindungi kepentingannya di Indonesia dan hukum internasional,” demikian pernyataan SingTel, sebagaimana dikutip dari Straits Times, Selasa (20/11). SingTel juga menyesalkan putusan tersebut dan menilainya tidak bisa dipahami. SingTel menegaskan pihaknya memiliki dewan direksi yang independen dan bisnisnya sama sekali tidak dikontrol dan dioperasikan oleh Temasek. Di lain pihak, sikap Singapore Technologies Telemedia (STT) tak kalah meradang dengan putusan KPPU. STT siap menantang KPPU demi melindungi investasinya di Indosat. “STT dan anak perusahaannya akan menantang temuan KPPU dan akan bersikukuh mempertahankan posisi kami,” tegas Presiden dan CEO STT Lee Theng Kiat dalam rilisnya, Selasa (20/11). STT selanjutnya akan melakukan review atas rincian keputusan tersebut dan mengambil upaya hukum selayaknya untuk melindungi investasinya di Indosat. “Keputusan KPPU menimbulkan pertanyaan yang serius terhadap pelaksanaan hukum sekaligus meragukan apakah investor asing dapat dengan aman berinvestasi di Indonesia,” pungkas Lee. DukunganPada acara jumpa pers di Jakarta, Selasa (20/11), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menyatakan akan mendukung upaya pengajuan banding yang akan dilakukan anak usahanya PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) atas vonis KPPU. “Atas inisiatif korporasi, Telkom akan mendukung penuh Telkomsel dalam pengajuan banding ke pengadilan negeri,” kata Vice President Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia Ia menambahkan, dalam pengajuan keberatan terhadap vonis KPPU, dukungan Telkom tidak terkait dengan pengajuan keberatan yang diajukan oleh Temasek. “Dukungan Telkom terhadap Telkomsel, saling tidak terkait dengan pengajuan keberatan Temasek. Keduanya mengajukan keberatan secara terpisah,” ujarnya. Eddy menekankan Telkomsel telah memberikan kontribusi yang sangat besar, baik bagi Telkom maupun pemerintah. Nilai pendapatan negara dari Telkom sebagian besar diperoleh dari Telkomsel. Tahun 2006 lalu, Telkom memberikan kontribusi sebesar Rp 23,7 triliun. “Dari Rp 23,7 triliun itu, sebagian besar disumbangkan oleh Telkomsel. Oleh karena itu, selayaknya eksistensi Telkomsel dilindungi, yaitu memberikan kesempatan pada perusahaan ini agar berkembang,” kata Eddy. Sementara mengenai vonis penurunan tarif 15%, Eddy menyatakan hal itu bisa berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan Telkomsel. “Selama ini, tarif Telkomsel sudah sesuai dengan tarif yang ditetapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), artinya running business Telkomsel sesuai kebutuhan pasar. Penurunan tarif 15% bisa berpengaruh signifikan bagi Telkomsel, walaupun dampaknya belum bisa diperkirakan secara pasti,” kata Eddy. Ia juga menjelaskan, tuduhan adanya pengendalian Telkomsel oleh Temasek tidak pernah terjadi. “Kepemilikan 35% saham oleh Singtel itu tidak membuatnya mengendalikan Telkomsel. Sebetulnya, pengendali utama Telkomsel adalah Telkom, karena kami memiliki 65% saham. Jadi tuduhan itu sebenarnya tidak benar,” tandasnya. Sementara itu, KPPU menilai keputusan bersalah terhadap Temasek tidak bisa dibawa ke arbitrase internasional. Putusan itu hanya bisa dibawa ke pengadilan di dalam negeri. “Hukum persaingan tidak memungkinkan dibawa ke arbitrase internasional. Hanya di pengadilan dalam negeri,” kata Ketua KPPU M Iqbal saat dihubungi lewat telepon selularnya, Selasa (20/11). Pernyataan Iqbal sekaligus menyangkal pendapat bahwa putusan KPPU terhadap Temasek akan dibawa ke arbitrase internasional. Tak tanggung-tanggung Iqbal memberi contoh, yakni kasus Microsoft dengan Uni Eropa, dimana kasusnya tidak bisa dibawa ke arbitrase internasional. Iqbal juga mengatakan bahwa putusan KPPU tidak akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. “Kita pernah menghukum Carrefour, tapi Carrefour tetap saja di sini, komentar itu mungkin hanya untuk menakut-nakuti KPPU,” tukas Iqbal. Menanggapi kabar dirinya mendapat dana Rp 8 miliar atas kasus Temasek, Iqbal dengan tegas mengatakan hal tersebut tidak benar. “Kalau memang punya bukti bawa saja ke KPK,” ujar Iqbal. Putusannya bisa diperkarakan di ICSIDPendapat berbeda dilontarkan pakar hukum dari Universitas Sumatra Utara, Ningrum Natasya Sirait. Ia mengatakan, ada kemungkinan Temasek membawa putusan KPPU ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. “Jika investor merasa investasinya dirugikan pemerintah, investor tersebut bisa mengajukannya ke ICSID. Itu satu-satunya di dunia jika investor melawan pemerintah,” kata Ningrum saat bertandang ke kantor hukumonline, Selasa (20/11). Menurut dia, ICSID berbeda dengan arbitrase biasa. “Kalau arbitrase itu apabila ada dua pihak dan dalam perjanjiannya mengatur jika salah satu pihak default (cidera janji, red) dan tidak memenuhi janjinya bisa dibawa ke arbitrase internasional,” kata Ningrum. Ningrum menuturkan keputusan hukum yang dikeluarkan KPPU bukan untuk mematikan dunia usaha. Menurutnya, sanksi yang paling tepat untuk membuat jera investor adalah denda, bukan dengan menghukum supaya si investor mengurangi bahkan melepaskan sahamnya di suatu perusahaan. “Kepastian hukum itu penting, tapi juga harus menjamin kepastian berusaha,” tegasnya. Ia menambahkan, semua perkara yang ada di KPPU merupakan masalah hukum dan ekonomi. Artinya, di dalam lembaga itu ilmu hukum dan ekonomi kawin dalam suatu kondisi dimana persepsi pasar bisa dilihat dari dua kacamata yang berbeda. Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief FX Poyuono juga sependapat dengan Ningrum. Ia berujar bahwa dengan adanya putusan ini, KPPU semakin merusak tatanan ekonomi dan hukum yang ada di Indonesia. “Saya ingatkan kepada Bapak Presiden bahwa program ekonomi dan hukum yang sedang anda bangun, telah dirusak oleh KPPU lewat putusan tersebut,” ujarnya di Jakarta, Selasa (20/11). Menurutnya, jika kasus ini jadi dibawa oleh Temasek ke Forum ICSID, maka hancurlah Indonesia. “Saya jamin, para investor akan berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Para investor akan melihat tidak adanya kepastian hukum,” ujarnya. “Jelas ini akan merusak rencana pemerintah yang akan menarik investor asing sebanyak-banyaknya ke Indonesia,” tambahnya. Keputusan KPPU ini, lanjut Arief merupakan lonceng kematian investasi di Indonesia. “Betapa tidak, Temasek yang dua tahun lalu diundang secara terhormat untuk ikut dalam bidding saham Indosat. Kini, diperlakukan sebagai pesakitan dan dihukum sebagai pihak yang melakukan monopoli,” jelasnya. Padahal, kata Arief, dalam konteks hukum, sebagai pihak penjual saham Indosat, maupun sebagai pemegang otoritas hukum di wilayah terjadinya transaksi divestasi. Pemerintah berkewajiban untuk menyampaikan segala informasi terkait dengan transaksi divestasi tersebut. Hal ini terkait erat dengan due dilligence, khususnya terkait dengan aspek legal sebagai dasar dalam melakukan suatu perbuatan dalam divestasi itu. Fakta itu, akan menjadi senjata yang sangat ampuh bagi Temasek untuk menempuh jalur hukum ke arbitrase internasional. Terlebih lagi divestasi Indosat juga dikuatkan dengan keputusan DPR. “Dalam sales and purchase agreement Indosat, secara jelas tertulis bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan di arbitrase international United Nations Commission on International Law di Hongkong,” paparnya. Karena itu, tanpa tedeng aling-aling Arief menuding adanya konspirasi di balik putusan Temasek ini. “Saya adalah saksi hidup semua proses kasus Temasek. Mulai dari awal pengajuan kasus hingga ada putusan seperti ini,” tuturnya. (Lut/Sut)

Jumat, 11 April 2008

Al Amin Belum Sependapat Soal BAP

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR RI, Al Amin Nur Nasution belum sependapat soal substansi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap dirinya sebagai tersangka dugaan penerimaan uang."Yang jelas berita acaranya belum saya setujui tadi," kata Amin setelah pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis dini hari.Bahkan, Al Amin justru balik bertanya ketika wartawan menanyakan tentang uang Rp71 juta yang diduga diterima Amin."Uang?" tanya Amin dengan nada terkejut.Amin kembali mengekspresikan rasa tidak setujunya ketika wartawan menjelaskan bahwa Ketua KPK sebelumnya telah mengumumkan bahwa Tim KPK telah mendapatkan barang bukti berupa uang.Uang senilai Rp71 juta itu didapati KPK secara terpisah, yaitu Rp4 juta ketika menangkap Amin, dan Rp67 juta di kendaraan Amin."Kok Rp71 juta?" tanya Amin sekali lagi tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Kemudian, Amin hanya menegaskan bahwa dirinya akan menghadapi kasus yang sedang menjeratnya."Saya ini akan hadapi, ini kan masalah hidup," kata Amin singkat. Sebelumnya, tim KPK menangkap Amin di salah satu ruangan di Ritz Carlton Hotel, Jakarta, pada Rabu dini hari."Barang bukti kami temukan di lapangan terhadap yang bersangkutan berjumlah hampir Rp4 juta rupiah saat penangkapan dan kurang lebih Rp67 juta di kendaraan AN," kata Ketua KPK, Antasari Azhar dalam keterangan resminya.Bersama Amin juga ditangkap Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.Pada saat yang sama, KPK juga menangkap sekretaris Amin, sopir Azirwan, dan seorang wanita yang belum diketahui identitasnya. Selama enam bulan terakhir, kata Antasari, KPK menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam alih fungsi hutan lindung di Kepulauan Riau.Namun demikian, KPK tidak serta merta mengaitkan penangkapan AN dengan kasus tersebut."Apakah yang kami temukan ada kaitan dengan tindak pidana yang diselidiki, ini yang kami dalami," kata Antasari.Sementara itu, Sira Prayuna, mantan penasihat hukum Amin dalam kasus perceraian dengan Kristina, mengatakan bahwa Amin belum menentukan sikap terhadap BAP."Belum," kata Sira tentang sikap Amin terhadap BAP.Sira yang mendampingi Amin selama pemeriksaan menjelaskan, BAP bisa diubah jika ada pihak yang tidak setuju. "Ya kan bisa dirubah kalau ada yang tidak setuju," katanya menambahkan.Tim pembelaSira menjelaskan, pihaknya segera mengumpulkan beberapa kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan para pengacara untuk membentuk tim pembela."Tim pembela Al Amin Nur Nasution," kata Sira kepada ANTARA tentang nama tim tersebut.Dia menegaskan, hingga saat ini tercatat sekira 50 orang yang akan menjadi anggota tim."Ya namanya solidaritas," jawab Sira ketika ditanya kenapa jumlah anggota tim pembela sangat banyak.(*)

OVERMACHT

Keadaan Memaksa/Overmacht
Pengertian keadaaan memaksa atau overmacht menurut R. Setiawan adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.[1]
Menurut undang-undang ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu :[2]
tidak memenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda obyek perikatan
ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi
faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Apabila terjadi overmacht dan memenuhi unsur a dan c, maka overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Jika terjad overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaa ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitur untuk berbuat.[3]
Keadaan memaksa yang menghalangi pemenuhan prestasi haruslah mengenai prestasinya sendiri, karena kita tidak dapat mengatakan adanya keadaan memaksa jika keadaan itu terjadi kemudian. Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi itu ada tidaknya hanya jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasinya bahkan debitur sendiri yang bersangkutan tidak mungkin atau sangat berat untuk memenuhi prestasi. Penentuannya harus berdasarkan kepada masing-masing kasus.
Debitur tidak harus menanggung risiko dalam keada memaksa maksudnya debitur baik berdasarkan undang-undang, perjanjian maupun menurut pandangan yang berlaku dalam masyarakat, tidak harus menanggung risiko. Selain itu karena keadaan memaksa, debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perjanjian dibuat.
Klausula overmacht atau force majeure biasa dicantumkan dalam pembuatan perjanjian atau kontrak dengan maksud melindungi pihak-pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada di luar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sewajarnya.
Dalam pencantuman klausula overmacht biasanya terdapat penekanan kepada keadaan memaksa yang berada di luar kekuasaan para pihak. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan kewajiban sesuai dengan kontrak.
Keadaan emmaksa menimbulkan berbagai akibat, yaitu :[4]
a. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c. risiko tidak beralih kepada debitur;
d. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
Dalam hal ini kewajiban untuk melaksanakan kontra prestasi menjadi gugur. Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada, yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika keadaa meaksa itu berhenti.
e. hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah :
1. debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi)
2. berdasarkan jabatan hakim tidak dapat menolak gugatan yang berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang emmikul beban untuk membuktikan keadaan memaksa.
Adakalanya bahwa sekalipun debitur tidak bersalah, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena telah diperjanjikan. Perusahaan pengangkutan harus mengangkut barang ke tempat lain. Sekalipun pengangkut telah menggunakan tali yang cukup kuat, tali tersebut putus dan barangnya menjadi rusak. Dalam hal ini memang tidak ada kesalahan pada debitur akan tetapi karena sifatnya perjanjian pengangkutan yang debiturnya harus memberi jaminan, maka debitur harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Adapun bentuk-bentuk keadaan memaksa terdir atas dua bagian, yaitu :[5]
a. Bentuk yang umum, yaitu :
1. keadaan iklim;
2. kehilangan;
3. pencurian
b. Bentuk yang khusus, yaitu :
1. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Undang-undang atau peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan memaksa. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa prestasi tidak dapat dilakukan, akan tetapi prestasi itu tidak boleh dilakukan, akibat adanya undang-undang atau peratueran pemerintah tersebut.
2. Sumpah
Adanya sumpah terkadang menimbulkan keadaan memaksa, yaitu apabila seseorang yang harus berprestasi itu diharuskan atau dipaksa bersumpah untuk tidak melakukan prestasi.
3. Tingkah laku pihak ketiga
4. Pemogokan
Bentuk khusus dari keadaan memaksa ini adakalanya menimbulkan force majeure dan adakalanya tidak.
Pembuktian keadaa memaksa, debitur dapat mengemukakan keadaan memaksa sebagaimana tersebut diatas, dan harus terpenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu :[6]
ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
ia tidak mau menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.
[1] R. Setiawan, hlm. 27
[2] Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hlm 25
[3] Abdulkadir Muhammad, op. cit. hlm. 205
[4] Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hlm, 26
[5] Ibid, hlm. 28
[6] Ibid, hlm. 29

Rabu, 09 April 2008

Pemerintah dan Investasi

Investasi di Indonesia terus mengalami kelesuan. Siapa yang dijadikan kambing hitam? resesi Gombal (Global-pen)? Suku Bunga? atau bahkan Global Warming (gak nyambung). Baiknya baca dulu deh penilaian dari ekonom-ekonom lokal dan Internasional tentang Investasi di Indonesia.
Silakan...

Govt must create business-friendly tax regime:
ExpertsUrip Hudiono,
The Jakarta Post, Jakarta - 2006-05-29 14:48:11May 29, 2006
This year's sluggish start to the collection of tax revenues shows the remaining problems in the government's taxation policies, analysts say, particularly in its failure to make taxes and economic growth support each other. Analysts have suggested the government must start employing such a mind-set within its current tax reform effort to revise Indonesia's existing tax laws to create a more business-friendly tax regime in the country, while continuing to hammer out the notorious corrupt practices in the country's tax office. "An amendment to our tax laws is a must because our current tax regime is no longer suitable for today's business and investment needs," economist Sri Adiningsih of the Yogyakarta-based Gadjah Mada University told The Jakarta Post. "ASEAN's free trade and investment area, for example, will come to its full extent in 2010 -- that's only three years from now -- so we have to come up with a more competitive tax regime." Sri Adiningsih agreed that implementing a "competitive" tax regime usually translated to the lowering of tax rates, which could result in even lower tax revenues in the short term. She said, however, that in the long-term it would encourage more growth-stimulating businesses and investments to come into the country, as long as the government's other policies of eradicating corruption and reducing the bureaucracy causing the country's current high-cost economy supported it. "More businesses and investments growing healthily will eventually lead to more tax revenues. This is tax regime design matching growth needs," she said. Worldwide studies by economists have suggested that when income taxes and import duties are too high they are detrimental to a country's economic growth, and have advised policy makers to instead focus on sales, luxury and value-added taxes. The government has fallen behind in its tax collection, only reaping Rp 105 trillion (US$11.6 billion) in this year's first four months -- or 29 percent of the year's target -- despite a 24 percent increase from the same period last year. Customs and excise revenues saw a similar situation, rising only 6 percent to Rp 15.4 trillion. Finance Minister Sri Mulyani Indrawati said the reversal was the result of many businesses experiencing hard times during the recent economic slowdown. Indonesia's economy grew by only 5.3 percent in the first quarter, far from its full-year target of 6 percent. Though most businesses in the country pay taxes, only some 10 million citizens are registered taxpayers, the government said. The government's tax law amendments to improve the tax ratio are in deliberation, but have been challenged by businesses citing concern over the still powerful tax office, renowned for graft. Sri Adiningsih warned the government to be careful when targeting small taxpayers so as not to discourage small and medium-sized enterprises, which have proven to be the economy's backbone in times of economic crisis. Legislator Dradjad H. Wibowo of the National Mandate Party agreed with improving the tax regime through amendments, as well as fully reforming the tax office. "If the government is serious in improving the tax office's performance, then it should consider separating it directly under the President, like the Internal Revenue System (IRS) in the U.S., Australia and Japan," he said.
(sudah tau siapa yang harus bertanggung jawab? )

Negara Hukum: Indonesia

Pengacara, pejabat, anggota parlemen, mahasiswa, sampe rakyat kecil punya pendapat sendiri tentang definisi negara hukum. kalau sudah kena masalah, semua teriak : "Ini negara Hukum bung !!
Tapi...
Tau Gak Sih negara hukum itu sebenarnya apa? Apa tujuan hukum itu?
Baiknya kita tahu dulu teorinya, definisinya, pengertiannya. baru kemudian boleh lah ngomong tentang negara hukum.
.......
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum[1]. Sudargo Gautama, menyebutkan negara berdasarkan hukum (Rechtstaat) adalah :[2]
“Negara berdasarkan atas hukum berarti bahwa negara didalam mengatur interaksi baik antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya maupun antara negara dengan masyarakatnya, akan selalu mendasarkan diri pada hukum yang berlaku”.

Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa tujuan hukum itu adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban.[3] Fungsi dan tujuan hukum itu berbeda. Hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan tujuan akhir dari hukum melainkan disebut fungsi hukum, sedangkan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah yang bermuara pada keadilan.
Tujuan hukum dalam sistem hukum positif Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 amandemen ke empat.[4]

[1] Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV.
[2] Sudargo Gautama, Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973, hlm. 2
[3] Moctar Kusumaatmadja & Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum 1, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hlm. 50.
[4] Ibid. hlm. 53.

INVESTASI DAN OTONOMI DAERAH

Sentralisasi Perizinan Investasi di Tengah Semangat Otonomi Daerah
(Nanda Nurridzki, ME)

Pengusaha mancanegara yang ingin berinvestasi di salah satu kabupaten di Sumatera mungkin dapat bernafas lega kali ini karena ia tidak perlu menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi karena cukup panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut.
Ilustrasi di atas merupakan dampak yang dapat terjadi akibat ditandatanganinya Keppres No 29 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 12 April yang lalu mengenai penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui system pelayanan satu atap. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas hal-hal yang berkaitan dengan Keppres No 29 tahun 2004, latar belakang, kondisi investasi saat ini, dampak serta strategi investasi yang harus diambil.
Mengapa perlu dikeluarkan keppres ini?
Pemerintah pada akhirnya perlu untuk mengeluarkan kepres mengingat cukup banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha atas kegiatan investasi yang dilakukan di daerah. Masalah ini terutama timbul setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun demikian, isi pasal 11 UU No 22 tentang Pemerintahan Daerah tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis, sehingga pada pelaksanaannya penanaman modal daerah seringkali menimbulkan kendala yang dikeluhkan oleh para investor, yaitu tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah propinsi (BKPMD). Setelah diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD propinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi/penanaman modal. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi/penanaman modal dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada pula yang membentuk suatu dinas penanaman modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat. \r\n
Berdasarkan studi LPEM Construction of Regional Index of Doing Business (CoRIDB)-2001, masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di daerah adalah masalah birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah. Kendala nasional yang cukup signifikan adalah kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti otonomi daerah akan mempersulit ijin usaha, melainkan para pengusaha lebih mengkhawatirkan pajak/retribusi baru yang diterapkan oleh masing-masing pemerintah daerah sehubungan dengan kewenangan yang diberikan ke daerah tersebut. Karena pajak/retribusi tersebut sebagian besar akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Berdasarkan data KADIN pada tahun 2001, dari 910 peraturan daerah mengenai pajak/retribusi, sebanyak 14.7% pajak daerah dan 72.2% retribusi daerah berhubungan dengan dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga kekhawatiran pengusaha cukup beralasan mengingat banyaknya Perda baru yang berkaitan dengan pajak/retribusi daerah yang akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Selain itu, Data KPPOD di tahun 2003 mengenai Perda yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap dunia usaha, juga menunjukkan terdapat 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan Perda yang bermasalah, baik secara prinsip, substansi, atau teknis.
Berangkat dari kondisi-kondisi di atas, keppres ini bertujuan untuk menjamin kepastian investor dalam melakukan investasi di Indonesia. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan dunia usaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, cepat, dan tepat. Sehingga, dengan didukung oleh kondisi ekonomi makro yang membaik saat ini, adanya keppres No 29 tahun 2004 diharapkan dapat menarik dan mempercepat masuknya investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. \r\n
Masih berdasarkan studi LPEM CoRIDB, hasil survey dengan responden Pemda mengenai lama waktu pengurusan izin usaha baru -apabila semua persyaratan dipenuhi- izin tersebut dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-3 bulan (44%) dan antara 3-6 Bulan (21.5%).
Hal ini pula yang ditekankan ketua BKPM, bahwa dengan berlakunya sistem pelayanan satu atap, pengurusan izin usaha tidak akan lebih dari 2 minggu. Kalaupun ada yang lebih dari waktu yang dijanjikan, maka masalah tersebut dapat langsung disalurkan ke Timnas Pengembangan Ekspor dan Pengembangan Iklim Investasi (PEPI) yang langsung diketuai oleh Presiden.
Meninjau ada tidaknya pengusaha yang membatalkan keinginannya untuk berinvestasi di Indonesia, 22,2% responden Pemda menyatakan pernah ada investor yang membatalkan investasi di daerahnya (studi LPEM CoRIDB). Namun demikian alasan pembatalan investasi tersebut disebabkan oleh peraturan Kepres No 96/2000 tentang bidang usaha tertutup (Daftar Negatif Investasi) dan karena tata ruang yang tidak sesuai dengan usaha yang dimohon. Selain itu, untuk beberapa daerah terdapat adanya masalah inkonsistensi DNI (Daftar Negatif Investasi) yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan yang dikeluarkan oleh Pemda.
Dengan sistem pelayanan satu atap ini, pemerintah juga menargetkan untuk mengurangi Daftar Negatif Investasi serta mengurangi masalah inkonsistensi seperti yang telah disebutkan di atas. Tujuan akhirnya adalah memperluas kesempatan berusaha bagi para pengusaha tersebut, sehingga mampu meningkatkan daya tarik daerah di Indonesia sebagai daerah tujuan investasi.Bagaimana kondisi investasi di Indonesia?
Lebih lanjut apabila kita melihat kondisi investasi di Indonesia, khususnya setelah diberlakukannya otonomi daerah
Terlihat bahwa terdapat trend yang sama baik investasi domestik (PMDN) maupun investasi asing (PMA). Setelah terjadinya krisis di tahun 1997, PMA dan PMDN mengalami penurunan yang cukup drastis. PMA jatuh dari posisi 33.788,8 juta dolar AS di 1997 ke 10.884,5 juta dolar AS di tahun 1999. Setelah pemilihan umum tahun 1999, investasi kembali meningkat. Namun, baik PMA maupun PMDN kembali mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahun 2001 dan 2002 yang bersamaan dengan dimulai diterapkannya otonomi daerah. Walaupun terjadi kenaikan di tahun 2003, trend penurunan tingkat investasi selama periode di atas menjadi dasar pemerintah untuk mengambil langkah sebagaimana dinyatakan dalam keppres No 29 ini. Walaupun demikian, banyak praktisi ekonomi serta pengamat yang menganggap tindakan pemerintah ini sudah terlambat, dimana Indonesia sudah terlanjur kehilangan momentum. Sudah cukup banyak investor yang menutup dan memindahkan usahanya ke negara lain karena tidak cukup kondusifnya iklim investasi di Indonesia. \r\n\r\nKondusifkan iklim investasi di daerah?\r\n
Sebenarnya terdapat sebagian kabupaten/kota yang telah memiliki iklim investasi yang kondusif yang sengaja diciptakan oleh pimpinan daerahnya. Seperti ulasan dalam majalah Swa, pembentukan Kantor Pelayanan Satu Atap (KPSA) bukan merupakan hal baru bagi pemerintah kabupaten Jepara. Bahkan Bupatinya menjamin surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu 5-7 hari. Selain itu, untuk mendorong majunya usaha ekspor produk mebel di luar negeri, pemerintahnya juga menelurkan kebijakan tax holiday bagi para investor di daerah tertentu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa Yogyakarta. Pendirian Unit Pelayanan Satu Atap telah berhasil memangkas birokrasi sehingga perizinan investasi baru di kota ini menjadi mudah.
Pembangunan fasilitas penunjang seperti terminal juga merupakan nilai plus di mata investor untuk pengembangan usaha. Tidak ketinggalan dengan Pemda Kabupaten Lamongan. Kebijakan diarahkan kepada perbaikan iklim investasi dalam menekankan kecepatan layanan, perizinan usaha, dan insentif bagi para pengusaha, juga pembangunan prasarana jalan. \r\n
Masih banyak daerah lain seperti Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur yang proaktif mengembangkan potensi SDM dan usaha agro industri walaupun daerahnya kaya SDA, kabupaten Kebumen yang menekankan good governance, kabupaten Bekasi yang memanfaatkan peluang ekonomi dari Jakarta, kabupaten Sumedang yang terus mebenahi tata ruangnya, kota Semarang yang mengedepankan efisiensi perijinan usaha, serta beberapa kabupaten/kota lainnya yang pemerintah daerahnya sangat concern dalam menarik investor untuk menanamkan modal di daerahnya. \r\n\r\nKonsistenkah dengan kebijakan yang berkaitan dengan otonomi daerah?\r\n
Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seharusnya keppres ini dikeluarkan sejak dulu sebagai penjelasan prosedur pelayanan PMA dan PMDN setelah diundangkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Karena dalam pasal 11 ayat 2 UU no. 22 tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa penanaman modal adalah salah satu kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Jadi sebenarnya, keberadaan Keppres ini dapat menjadi batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU tentang Otonomi Daerah tersebut. \r\n
Menurut sumber DPR, berdasarkan hasil dengar pendapat antara DPR Komisi V dan BKPM, disebutkan bahwa Keppres ini dibuat sebagai pelaksanaan dari Tap MPR NO.10 tahun 2001. Dapat dikatakan bahwa Tap MPR ini berfungsi untuk memayungi Keppres No 24 ini. Namun demikian, disebutkan dalam Tap MPR No. I tahun 2003, bahwa Tap MPR No. 10 tersebut dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian apabila pemerintah baru sudah terbentuk maka payung hukumnya hilang. Jadi, secara hukum sebenarnya posisi keppres ini sangat lemah. \r\n
Untuk itu, diperlukan adanya produk hukum yang lebih menjamin dan sempurna untuk dapat lebih menguatkan posisi kepres tersebut. Alternatifnya dapat berupa Peraturan Pemerintah atas pasal 11 UU No 22 tahun 1999 tersebut atau dibuatnya Undang-undang Penanaman Modal baru yang isinya menegaskan system pelayanan satu atap ini, sehingga landasan hukumnya cukup kuat untuk diimplementasikan dalam sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah. \r\n
Ditinjau secara historisnya, sebenarnya sudah cukup lama pemerintah ingin mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai pelayanan investasi satu atap (one roof service). Menurut kepala BKPM, Keppres ini merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Pasca-LoI IMF yang menginginkan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan arus investasi. Seharusnya keppres ini sudah keluar sejak Oktober tahun 2003 lalu. Namun demikian, diduga terdapat adanya tarik menarik antara departemen teknis yang bersangkutan yang merasa kewenangannya dilampaui dengan adanya kebijakan tersebut. Proses penggodokan regulasi ini telah memakan waktu sekitar 3 (tiga) tahun untuk mematangkan koordinasi dengan seluruh departemen terkait. \r\n\r\nBerlakukah aturan dalam keppres ini untuk investasi di sektor migas?\r\nKeppres ini dikhawatirkan akan berbenturan dengan UU yang sudah ada, khususnya yang mengatur investasi di bidang Migas. Berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001 dinyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai (Depkeu). Hal ini semakin menguatkan argumen mengenai perlunya dikuatkan posisi regulasi ini agar posisinya secara hukum tidak lemah, lebih jelas, serta selaras dengan UU lainnya yang sudah berlaku. \r\n
Kalaupun pada akhirnya keppres ini akan dikuatkan dengan UU penanaman modal yang baru, isinya harus menyesuaikan hal-hal yang sudah diatur sebelumnya dengan UU lain, contohnya UU Migas ini. Alternatif lainnya adalah melakukan amandemen UU yang ada agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan dengan regulasi yang baru. \r\n\r\nRekomendasi Kebijakan\r\n
Secara substansi regulasi yang mengatur prosedur penanaman modal satu ini sangat penting dalam rangka menarik investasi, asalkan dapat diimplementasikan dengan baik dan efisien. Namun demikian, dilihat dari aturan perundang-undanganan yang ada, keppres ini sangat lemah karena secara substansi bertentangan dengan UU No 22 tahun 1999. Sehingga diperkirakan keppres ini sulit untuk diimplementasikan, kecuali diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu setingkat undang-undang. Ataupun dapat dilakukan amandemen undang-undang pada pasal-pasal yang bertentangan dengan substansi keppres ini. \r\n
Selain itu, dalam hal implementasi di lapangan banyak kalangan yang meragukan Keppres ini dapat berjalan efektif, apabila terdapat tarik-menarik kepentingan (conflict of interest) antara pihak-pihak yang merasa paling berkepentingan atas penanaman modal di daerah, yaitu antara pemerintah pusat, daerah, serta dinas-dinas yang terkait secara langsung serta faktor sumber daya manusia (aparatur birokrat) yang tidak dibenahi. Oleh karena itu, kembali dikatakan bahwa posisi regulasi yang lebih kuat sangat diperlukan, agar tidak terjadi konflik kepentingan di antara berbagai pihak tersebut. \r\nNamun demikian, dalam menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah, kemandirian daerah dalam hal pengurusan perijinan usaha ini wajib diusahakan oleh pemerintah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mengembangkan upaya-upaya menuju kemandirian daerah seperti yang telah ditetapkan dalam UU mengenai otonomi daerah. \r\nSebenarnya masih banyak hal yang berkaitan dengan investasi selain masalah pelayanan pengurusan ijin usaha. Prasarana umum, seperti infrastruktur merupakan hal yang krusial bagi para investor sehingga dapat mencapai efisiensi dalam berproduksi. Perbaikan kepastian hukum juga merupakan strategi jangka panjang yang harus ditempuh pemerintah utnuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan tidak kalah bersaing dengan negara lain. \r\n
Penyehatan kondisi perbankan Indonesia merupakan hal utama dalam menggerakkan sektor ril. Peran investasi di sektor ril sangat penting mengingat investasi ini dapat menyerap tenaga kerja yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu, perbaikan di pasar finansial adalah hal yang harus terus diupayakan pemerintah, khususnya peran perbankan yang bersih dan efisien sangat diperlukan bagi sektor ril. Termasuk diantaranya adalah stabilitas, yang tercermin dari stabilnya indikator-indikator ekonomi makro, seperti tingkat inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga, serta harga saham. \r\n
Peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat daerah wajib dikedepankan oleh pemerintah daerah untuk mempersiapkan daerah dalam menghadapi era globalisasi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Masalah SDM pada akhirnya juga terkait dengan masalah perburuhan yang seringkali menjadi kendala bagi para investor. \r\nPada intinya, dalam jangka panjang pemerintah daerah harus secara terus-menerus mengupayakan peningkatan kapasitas (capacity building) yang meliputi tingkatan sistem atau regulasi, tingkatan lembaga atau organisasi serta tingkatan individu atau aparatur pemerintah
REFERENSI :
  1. Keppres RI No.29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
  2. Undang-undang RI No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah\r\n
    Undang-undang RI No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Laporan Penelitian LPEM-FEUI : Construction of Regional Index of Doing Business, Laporan Akhir, 2001.
  4. KPPOD News, No.23 Tahun I, 12 18 Maret 2003, hal.73
  5. Majalah Swasembada, Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April 2004. \r\n

SORRY...

MAAF, BLOG SEDANG DALAM PENGEMBANGAN
( sorry, blog is under reconstruction )