Rabu, 09 April 2008

INVESTASI DAN OTONOMI DAERAH

Sentralisasi Perizinan Investasi di Tengah Semangat Otonomi Daerah
(Nanda Nurridzki, ME)

Pengusaha mancanegara yang ingin berinvestasi di salah satu kabupaten di Sumatera mungkin dapat bernafas lega kali ini karena ia tidak perlu menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi karena cukup panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut.
Ilustrasi di atas merupakan dampak yang dapat terjadi akibat ditandatanganinya Keppres No 29 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 12 April yang lalu mengenai penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui system pelayanan satu atap. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas hal-hal yang berkaitan dengan Keppres No 29 tahun 2004, latar belakang, kondisi investasi saat ini, dampak serta strategi investasi yang harus diambil.
Mengapa perlu dikeluarkan keppres ini?
Pemerintah pada akhirnya perlu untuk mengeluarkan kepres mengingat cukup banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha atas kegiatan investasi yang dilakukan di daerah. Masalah ini terutama timbul setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun demikian, isi pasal 11 UU No 22 tentang Pemerintahan Daerah tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis, sehingga pada pelaksanaannya penanaman modal daerah seringkali menimbulkan kendala yang dikeluhkan oleh para investor, yaitu tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah propinsi (BKPMD). Setelah diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD propinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi/penanaman modal. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi/penanaman modal dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada pula yang membentuk suatu dinas penanaman modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat. \r\n
Berdasarkan studi LPEM Construction of Regional Index of Doing Business (CoRIDB)-2001, masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di daerah adalah masalah birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah. Kendala nasional yang cukup signifikan adalah kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti otonomi daerah akan mempersulit ijin usaha, melainkan para pengusaha lebih mengkhawatirkan pajak/retribusi baru yang diterapkan oleh masing-masing pemerintah daerah sehubungan dengan kewenangan yang diberikan ke daerah tersebut. Karena pajak/retribusi tersebut sebagian besar akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Berdasarkan data KADIN pada tahun 2001, dari 910 peraturan daerah mengenai pajak/retribusi, sebanyak 14.7% pajak daerah dan 72.2% retribusi daerah berhubungan dengan dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga kekhawatiran pengusaha cukup beralasan mengingat banyaknya Perda baru yang berkaitan dengan pajak/retribusi daerah yang akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Selain itu, Data KPPOD di tahun 2003 mengenai Perda yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap dunia usaha, juga menunjukkan terdapat 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan Perda yang bermasalah, baik secara prinsip, substansi, atau teknis.
Berangkat dari kondisi-kondisi di atas, keppres ini bertujuan untuk menjamin kepastian investor dalam melakukan investasi di Indonesia. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan dunia usaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, cepat, dan tepat. Sehingga, dengan didukung oleh kondisi ekonomi makro yang membaik saat ini, adanya keppres No 29 tahun 2004 diharapkan dapat menarik dan mempercepat masuknya investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. \r\n
Masih berdasarkan studi LPEM CoRIDB, hasil survey dengan responden Pemda mengenai lama waktu pengurusan izin usaha baru -apabila semua persyaratan dipenuhi- izin tersebut dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-3 bulan (44%) dan antara 3-6 Bulan (21.5%).
Hal ini pula yang ditekankan ketua BKPM, bahwa dengan berlakunya sistem pelayanan satu atap, pengurusan izin usaha tidak akan lebih dari 2 minggu. Kalaupun ada yang lebih dari waktu yang dijanjikan, maka masalah tersebut dapat langsung disalurkan ke Timnas Pengembangan Ekspor dan Pengembangan Iklim Investasi (PEPI) yang langsung diketuai oleh Presiden.
Meninjau ada tidaknya pengusaha yang membatalkan keinginannya untuk berinvestasi di Indonesia, 22,2% responden Pemda menyatakan pernah ada investor yang membatalkan investasi di daerahnya (studi LPEM CoRIDB). Namun demikian alasan pembatalan investasi tersebut disebabkan oleh peraturan Kepres No 96/2000 tentang bidang usaha tertutup (Daftar Negatif Investasi) dan karena tata ruang yang tidak sesuai dengan usaha yang dimohon. Selain itu, untuk beberapa daerah terdapat adanya masalah inkonsistensi DNI (Daftar Negatif Investasi) yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan yang dikeluarkan oleh Pemda.
Dengan sistem pelayanan satu atap ini, pemerintah juga menargetkan untuk mengurangi Daftar Negatif Investasi serta mengurangi masalah inkonsistensi seperti yang telah disebutkan di atas. Tujuan akhirnya adalah memperluas kesempatan berusaha bagi para pengusaha tersebut, sehingga mampu meningkatkan daya tarik daerah di Indonesia sebagai daerah tujuan investasi.Bagaimana kondisi investasi di Indonesia?
Lebih lanjut apabila kita melihat kondisi investasi di Indonesia, khususnya setelah diberlakukannya otonomi daerah
Terlihat bahwa terdapat trend yang sama baik investasi domestik (PMDN) maupun investasi asing (PMA). Setelah terjadinya krisis di tahun 1997, PMA dan PMDN mengalami penurunan yang cukup drastis. PMA jatuh dari posisi 33.788,8 juta dolar AS di 1997 ke 10.884,5 juta dolar AS di tahun 1999. Setelah pemilihan umum tahun 1999, investasi kembali meningkat. Namun, baik PMA maupun PMDN kembali mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahun 2001 dan 2002 yang bersamaan dengan dimulai diterapkannya otonomi daerah. Walaupun terjadi kenaikan di tahun 2003, trend penurunan tingkat investasi selama periode di atas menjadi dasar pemerintah untuk mengambil langkah sebagaimana dinyatakan dalam keppres No 29 ini. Walaupun demikian, banyak praktisi ekonomi serta pengamat yang menganggap tindakan pemerintah ini sudah terlambat, dimana Indonesia sudah terlanjur kehilangan momentum. Sudah cukup banyak investor yang menutup dan memindahkan usahanya ke negara lain karena tidak cukup kondusifnya iklim investasi di Indonesia. \r\n\r\nKondusifkan iklim investasi di daerah?\r\n
Sebenarnya terdapat sebagian kabupaten/kota yang telah memiliki iklim investasi yang kondusif yang sengaja diciptakan oleh pimpinan daerahnya. Seperti ulasan dalam majalah Swa, pembentukan Kantor Pelayanan Satu Atap (KPSA) bukan merupakan hal baru bagi pemerintah kabupaten Jepara. Bahkan Bupatinya menjamin surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu 5-7 hari. Selain itu, untuk mendorong majunya usaha ekspor produk mebel di luar negeri, pemerintahnya juga menelurkan kebijakan tax holiday bagi para investor di daerah tertentu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa Yogyakarta. Pendirian Unit Pelayanan Satu Atap telah berhasil memangkas birokrasi sehingga perizinan investasi baru di kota ini menjadi mudah.
Pembangunan fasilitas penunjang seperti terminal juga merupakan nilai plus di mata investor untuk pengembangan usaha. Tidak ketinggalan dengan Pemda Kabupaten Lamongan. Kebijakan diarahkan kepada perbaikan iklim investasi dalam menekankan kecepatan layanan, perizinan usaha, dan insentif bagi para pengusaha, juga pembangunan prasarana jalan. \r\n
Masih banyak daerah lain seperti Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur yang proaktif mengembangkan potensi SDM dan usaha agro industri walaupun daerahnya kaya SDA, kabupaten Kebumen yang menekankan good governance, kabupaten Bekasi yang memanfaatkan peluang ekonomi dari Jakarta, kabupaten Sumedang yang terus mebenahi tata ruangnya, kota Semarang yang mengedepankan efisiensi perijinan usaha, serta beberapa kabupaten/kota lainnya yang pemerintah daerahnya sangat concern dalam menarik investor untuk menanamkan modal di daerahnya. \r\n\r\nKonsistenkah dengan kebijakan yang berkaitan dengan otonomi daerah?\r\n
Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seharusnya keppres ini dikeluarkan sejak dulu sebagai penjelasan prosedur pelayanan PMA dan PMDN setelah diundangkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Karena dalam pasal 11 ayat 2 UU no. 22 tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa penanaman modal adalah salah satu kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota. Jadi sebenarnya, keberadaan Keppres ini dapat menjadi batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU tentang Otonomi Daerah tersebut. \r\n
Menurut sumber DPR, berdasarkan hasil dengar pendapat antara DPR Komisi V dan BKPM, disebutkan bahwa Keppres ini dibuat sebagai pelaksanaan dari Tap MPR NO.10 tahun 2001. Dapat dikatakan bahwa Tap MPR ini berfungsi untuk memayungi Keppres No 24 ini. Namun demikian, disebutkan dalam Tap MPR No. I tahun 2003, bahwa Tap MPR No. 10 tersebut dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian apabila pemerintah baru sudah terbentuk maka payung hukumnya hilang. Jadi, secara hukum sebenarnya posisi keppres ini sangat lemah. \r\n
Untuk itu, diperlukan adanya produk hukum yang lebih menjamin dan sempurna untuk dapat lebih menguatkan posisi kepres tersebut. Alternatifnya dapat berupa Peraturan Pemerintah atas pasal 11 UU No 22 tahun 1999 tersebut atau dibuatnya Undang-undang Penanaman Modal baru yang isinya menegaskan system pelayanan satu atap ini, sehingga landasan hukumnya cukup kuat untuk diimplementasikan dalam sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah. \r\n
Ditinjau secara historisnya, sebenarnya sudah cukup lama pemerintah ingin mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai pelayanan investasi satu atap (one roof service). Menurut kepala BKPM, Keppres ini merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Pasca-LoI IMF yang menginginkan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan arus investasi. Seharusnya keppres ini sudah keluar sejak Oktober tahun 2003 lalu. Namun demikian, diduga terdapat adanya tarik menarik antara departemen teknis yang bersangkutan yang merasa kewenangannya dilampaui dengan adanya kebijakan tersebut. Proses penggodokan regulasi ini telah memakan waktu sekitar 3 (tiga) tahun untuk mematangkan koordinasi dengan seluruh departemen terkait. \r\n\r\nBerlakukah aturan dalam keppres ini untuk investasi di sektor migas?\r\nKeppres ini dikhawatirkan akan berbenturan dengan UU yang sudah ada, khususnya yang mengatur investasi di bidang Migas. Berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001 dinyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai (Depkeu). Hal ini semakin menguatkan argumen mengenai perlunya dikuatkan posisi regulasi ini agar posisinya secara hukum tidak lemah, lebih jelas, serta selaras dengan UU lainnya yang sudah berlaku. \r\n
Kalaupun pada akhirnya keppres ini akan dikuatkan dengan UU penanaman modal yang baru, isinya harus menyesuaikan hal-hal yang sudah diatur sebelumnya dengan UU lain, contohnya UU Migas ini. Alternatif lainnya adalah melakukan amandemen UU yang ada agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan dengan regulasi yang baru. \r\n\r\nRekomendasi Kebijakan\r\n
Secara substansi regulasi yang mengatur prosedur penanaman modal satu ini sangat penting dalam rangka menarik investasi, asalkan dapat diimplementasikan dengan baik dan efisien. Namun demikian, dilihat dari aturan perundang-undanganan yang ada, keppres ini sangat lemah karena secara substansi bertentangan dengan UU No 22 tahun 1999. Sehingga diperkirakan keppres ini sulit untuk diimplementasikan, kecuali diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu setingkat undang-undang. Ataupun dapat dilakukan amandemen undang-undang pada pasal-pasal yang bertentangan dengan substansi keppres ini. \r\n
Selain itu, dalam hal implementasi di lapangan banyak kalangan yang meragukan Keppres ini dapat berjalan efektif, apabila terdapat tarik-menarik kepentingan (conflict of interest) antara pihak-pihak yang merasa paling berkepentingan atas penanaman modal di daerah, yaitu antara pemerintah pusat, daerah, serta dinas-dinas yang terkait secara langsung serta faktor sumber daya manusia (aparatur birokrat) yang tidak dibenahi. Oleh karena itu, kembali dikatakan bahwa posisi regulasi yang lebih kuat sangat diperlukan, agar tidak terjadi konflik kepentingan di antara berbagai pihak tersebut. \r\nNamun demikian, dalam menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah, kemandirian daerah dalam hal pengurusan perijinan usaha ini wajib diusahakan oleh pemerintah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mengembangkan upaya-upaya menuju kemandirian daerah seperti yang telah ditetapkan dalam UU mengenai otonomi daerah. \r\nSebenarnya masih banyak hal yang berkaitan dengan investasi selain masalah pelayanan pengurusan ijin usaha. Prasarana umum, seperti infrastruktur merupakan hal yang krusial bagi para investor sehingga dapat mencapai efisiensi dalam berproduksi. Perbaikan kepastian hukum juga merupakan strategi jangka panjang yang harus ditempuh pemerintah utnuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan tidak kalah bersaing dengan negara lain. \r\n
Penyehatan kondisi perbankan Indonesia merupakan hal utama dalam menggerakkan sektor ril. Peran investasi di sektor ril sangat penting mengingat investasi ini dapat menyerap tenaga kerja yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu, perbaikan di pasar finansial adalah hal yang harus terus diupayakan pemerintah, khususnya peran perbankan yang bersih dan efisien sangat diperlukan bagi sektor ril. Termasuk diantaranya adalah stabilitas, yang tercermin dari stabilnya indikator-indikator ekonomi makro, seperti tingkat inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga, serta harga saham. \r\n
Peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat daerah wajib dikedepankan oleh pemerintah daerah untuk mempersiapkan daerah dalam menghadapi era globalisasi, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Masalah SDM pada akhirnya juga terkait dengan masalah perburuhan yang seringkali menjadi kendala bagi para investor. \r\nPada intinya, dalam jangka panjang pemerintah daerah harus secara terus-menerus mengupayakan peningkatan kapasitas (capacity building) yang meliputi tingkatan sistem atau regulasi, tingkatan lembaga atau organisasi serta tingkatan individu atau aparatur pemerintah
REFERENSI :
  1. Keppres RI No.29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
  2. Undang-undang RI No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah\r\n
    Undang-undang RI No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Laporan Penelitian LPEM-FEUI : Construction of Regional Index of Doing Business, Laporan Akhir, 2001.
  4. KPPOD News, No.23 Tahun I, 12 18 Maret 2003, hal.73
  5. Majalah Swasembada, Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April 2004. \r\n

Tidak ada komentar: