Kamis, 24 April 2008

Vexatious Litigation

Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif
Oleh: Al. Wisnubroto *) [8/4/08]
Siapa yang tidak kesal atau jengkel bila tiba-tiba seseorang digugat (perdata) atau dilaporkan/diadukan (pidana) melalui institusi peradilan sehingga harus terukuras energinya meladeni gugatan atau laporan tersebut?
Dalam hal demikian maka isu Vexatious Litigation yang ditulis oleh Hendra Setiawan Boen (Kolom hukumonline 13/3/08) beserta tanggapan-tanggapannya menjadi menarik untuk dibahas dalam berbagai perspektif.

Dalam beberapa hal penulis sepakat dengan Saudara Boen bahwa gugatan (dalam perkara perdata) atau laporan (dalam proses perkara pidana) tanpa landasan visi yang jelas, terlebih yang bermuatan iktikat buruk (dendam, konspirasi jahat, ekploitasi ekonomi dll.), harus diminimalisasir atau bahkan harus ditanggulangi. Namun demikian dalam tulisan tersebut diakui pula bahwa tidak semua “gugatan coba-coba” terkandung iktikat jahat. Bahkan bisa jadi ada “gugatan eksperimen” yang bertujuan mulia sebagaimana lazim dilakukan dalam gerakan bantuan hukum struktural oleh berbagai LSM. Sehingga sebenarnya kurang tepat bila gugatan yang dilakukan dalam kerangka visi pemberdayaan masyarakat atau pendayagunaan lembaga peradilan serta merta dimasukkan sebagai vexatious litigation.

Bahasan mengenai upaya meminimalisir vexatious litigation semakin menarik dengan tulisan pembanding dari Ahmad Rosadi Harahap yang dimuat dalam media yang sama (hukumonline, 31/03/08). Dalam tulisan pembanding tersebut Rosadi berupaya mengkounter pandangan tulisan Boen, terutama yang terkait dengan ide mempositifkan larangan Vexatious Litigation dalam kebijakan legislasi. Menurut Rosadi solusi yang ditawarkan oleh Boen niscaya akan mengakibatkan budaya legisme hakim kita akan semakin menjauh dari zeitsgeist masyarakatnya ketika hukum positif tidak responsif bagi rasa keadilan, serta tergugat (seringkali negara dan otoritas publiknya) dapat dengan nyaman berlindung di balik jubah hakim lewat prinsip vexatious litigation. Bahkan menurut Rosadi: “Sadar atau tidak, saran saudara Boen itu sesungguhnya sedang menciptakan “hakim-hakim” dengan putusan yang didasarkan pada pertimbangan hukum tunggal – vexatious litigation. Selanjutnya, kita tinggal menunggu munculnya suatu rezim diktator baru: judicial dictatorship”.

Singkatnya barangkali tulisan Rosadi terasa lebih utuh, namun bukan berarti tulisan Boen serta merta keliru. Hal tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing. Nampaknya gagasan pemikiran dalam tulisan Boen sangat dipengaruhi paradigma hukum modern yang kental dengan logika legal-positivistik, sehingga wajar saja bila pandangan-pandangan lebih bersifat linier, masinal dan atomistik. Sekali lagi dari sudut pandang sistem hukum modern yang meyakini adanya kepastian hukum dalam rangka mewujudkan ketertiban masyarakat, hal tersebut tidaklah keliru.

Keterbatasan Hukum Modern
Masalah eksistensi hukum modern tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya yang seiring sejalan dengan perkembangan sosial dan kultural di Eropa. Hukum Modern muncul di Eropa setelah melalui proses perjalanan yang sangat panjang dan “berdarah-darah” (istilah dari Prof. Satjipto Rahardjo).

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan:

1. Formal rules: tertulis dalam bentuk peraturan peraundang-undangan;
2. Procedures: dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat;
3. Methodologist: mendewakan logika dalam penerapannya;
4. Bureaucreacy: hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan Yudikatif).

Munculnya ciri-ciri tersebut karena konteks sejarah munculnya hukum modern dalam Constitutional State sebagai reaksi terhadap “kekacauan” yang diakibatkan oleh sistem hukum era sebelumnya, yakni Absolutisme (Roberto M. Unger, Law in Modern Society, 1976). Sehingga pada awalnya memang model hukum modern ini cukup efektif dalam upaya menertibkan masyarakat.

Namun dalam perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin tidak “ampuh” dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial akibat pesatnya kemajuan teknologi.

Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi perubahan sosial akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi adalah sifat hukum modern yang cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan dengan sendirinya sulit untuk menjadi responsif terhadap perkembangan rasa keadilan.

Kenyataan yang sangat tidak menguntungkan adalah keberadaan hukum modern di Indonesia. Apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya, hukum modern yang “dipaksakan” berlaku dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak zaman kolonial (melalui “bewuste rechtspolitiek”), hingga Indonesia merdeka (Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, 1990), adalah ibarat “benda asing” yang tidak tumbuh secara alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (not developed from within but imposed from out side).

Lebih celaka lagi banyak yuris kita yang menganggap civil law yang notabene berasal dari tradisi Eropa Kontinental sebagai sistem hukum Indonesia dan memperlakukannya secara strict dan harus ‘steril’ sehingga seringkali “alergi” terhadap pengaruh sistem lain.

Fenomena tersebut nampak misalnya pada penalaran Saudara Boen ketika mempersoalkan “cara berhukum” pihak-pihak yang mengajukan vexatious litigation terutama hakim yang mengabulkan gugatan tersebut dalam putusannya yang bersifat kontroversial. Cara berhukum yang demikian dianggap bertentangan dengan sistem hukum Indonesia yang menurut tulisan Boen lebih berciri pada sistem civil law, sehingga “mengharamkan” terobosan penemuan hukum yang disebut-sebut sebagai judge made law, citizen law suit dan berbagai hal yang berasal dari sistem common law.

Dalam perkembangan peradaban yang semakin global ini sebenarnya semakin tidak relevan membuat dikotomi sistem hukum civil law, common law maupun berbagai sistem hukum lainnya secara hitam putih. Dalam tataran praksis yang berkembang di berbagai negara justru lebih nampak sebagai “mixed system” (Rene David & J.E.C. Brierly, Major Legal Systems in The World Today, 1978). Di Indonesia misalnya, sekalipun bila dirunut tatanan hukum modernnya banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental (terutama Belanda), namun keberadaan sistem hukum adat dan sistem hukum Islam juga berlaku. Bahkan belakangan di bidang tertentu model-model yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon juga mulai diadopsi, misalnya berbagai aturan di bidang hukum bisnis, model gugatan class action, citizen law suit, model penalaran hukum yang menghasilkan “judge made law”, hingga munculnya lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang formatnya yang mirip dengan tribunal.

Sebenarnya dalam perspektif realitas sosial dan pembaharuan hukum Indonesia, diadopsinya berbagai model, konsep atau sistem hukum tersebut adalah sesuatu yang wajar dan bersifat alamiah. Apalagi bila menyadari bahwa masyakat Indonesia bersifat plural dan prismatik sehingga hubungan-hubungan hukumnya bersifat lebih kompleks disamping tentu saja pengaruh dari transformasi global di berbagai bidang.

Sayang, dalam tataran politik hukum, upaya menformulasikan substansi hukum adat dalam sistem hukum modern atau yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah pengadopsian susbstansi hukum yang berasal dari sistem common law ke dalam sistem hukum Indonesia yang diyakini bertradisi civil law, tidak pernah tuntas dan konsisten serta utuh (menyeluruh). Wajar saja bila “perkawinan” sistem hukum yang tidak sempurna tersebut selalu menimbulkan permasalahan baik dalam tataran konsep pemikiran maupun dalam implementasinya, baik dalam lingkup akademis maupun praktis. Terutama bila cara pandangnya berperspektif legal-positivistik yang kaku dan “hitam-putih”.

Jadi apakah cukup arif bila serta-merta “menuduh” terobosan yang dilakukan LSM atau koalisi masyarakat (misalnya saat mengajukan citizen law suit) sebagai “vexatious litigation” dan penemuan hukum (yang diaku sebagai “judge made law”) oleh hakim yang mengabulkan terobosan tersebut sebagai putusan yang “aneh bin ajaib”, lantaran tidak steril lagi sebagai civil law system?

Cara berhukum dengan logika penalaran “kaca mata kuda” tersebut memang ciri khas dari sistem hukum modern (legal-positivistik; legistik-formalistik), namun sekaligus merupakan ancaman kegagalan dalam mewujudkan keadilan yang substantif, khususnya bagi pihak yang lemah dan kaum marginal. Sistem hukum modern yang lahir dari alam pikir liberal dan kapitalisme tak urung hanya akan menguntungkan pihak yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik (the ‘haves’ come out ahead atau “asu gedhe menang kerahe”). Lalu apakah lantaran tidak ada “sistem”nya atau dianggap sistemnya “salah kamar”, masyarakat menjadi kehilangan hak untuk mengakses keadilan melalui mekanisme gugatan perdata? Bahkan (bila usulan mempositifkan vexatious litigation diterima) salah-salah bisa terkena sanksi karena didakwa telah melakukan vexatious litigation.

Perspektif Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif mulai diperkenalkan oleh Profesor Satjipto Rahardjo lebih dari lima tahun lalu. Awalnya gagasan tersebut tercetus dari kegundahan intelektual terhadap hegemoni hukum modern yang legal-positivistik dalam berhukum di Indonesia, dan semakin menunjukkan keterpurukan dan kegagalan dalam mengatasi berbagai kasus hukum di Indonesia.

Sejak dicetuskan pada 2002, telah bermunculan banyak tulisan yang mencoba mengeksplorasi gagasan hukum progresif dalam aspek keilmuan. Sekalipun ide hukum progresif belum bisa dipandang sebagai teori yang final (sesuai dengan hakekatnya sebagai law in making atau on going process), namun dari sedemikian banyak tulisan dan kajian mengenai hukum progresif dapat ditarik beberapa pokok gagasan. Pertama, paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia yang mengandung makna bahwa manusia merupakan sentral dalam cara berhukum.

Kedua, prinsip-prinsip hukum progresif adalah: tidak ingin mempertahankan status quo dalam berhukum; mengutamakan faktor dan peran manusia di atas hukum; membaca peraturan adalah membaca maknanya bukan teks-nya; membebaskan dari kelaziman yang keliru dan menghambat pencapaian tujuan hukum. Selain itu, mengutamakan modal empati, rasa-perasaan, dedikasi, kesungguhan, kejujuran dan keberanian; dan hukum bukan mesin namun lebih merupakan jerih payah manusia yang bernurani.

Dengan demikian hukum progresif merubah cara berhukum dari sekedar menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual.

Dalam perpektif hukum progresif maka yang terjadi dalam positivisasi hukum sebenarnya adalah pereduksian makna. Dengan demikian gagasan atau usulan untuk menformalkan vexatious litigation dalam sebuah produk legislasi sebenarnya justru membatasi atau mempersempit makna apa yang sesungguhnya benar-benar merupakan gugatan iseng, yaitu gugatan yang tujuannya hanya semata-mata untuk mengganggu pihak lawan. Apalagi proses pembuatan peraturan perundang-undangan cenderung merupakan proses politik dimana banyak muatan kepentingan yang “beradu” kekuatan.

Aturan formal mengenai vexatious litigation (disertai dengan sanksinya) bila diaplikasikan di lembaga peradilan dimana hakim-hakimnya juga berpandangan legal-positivistik (sekedar bouche de la loi) dikhawatirkan akan memberangus gugatan yang bersubtansikan visi bantuan hukum struktural dalam rangka memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi.

Bila hakim harus membuat terobosan untuk membuat penemuan hukum yang tidak lazim dalam putusannya, yang mengabulkan gugatan “eksperimental” elemen masyarakat, dimana terobosan itu dalam konteks visi terwujudnya keadilan substanstif, maka jangan terburu berprasangka bahwa hakim tersebut sengaja membuat putusan kontroversi untuk menaikkan pamor.

Dalam perspektif hukum progresif seorang jurist memang harus mampu berhukum dengan dilandasi sikap compassion, empathy, sincerety dan dare (Satjipto Rahardjo, Arsenal Hukum Progresif, 2007), sehingga manusia pengemban hukum progresif dituntut untuk melakukan “lompatan” lebih dari sekedar tugas dan kewenangan yang diberikan oleh teks aturan formal (doing to the utmost atau dalam bahasa para leluhur kita: “mesu budi”).

Dalam sejarah peradilan kita pernah memiliki nama-nama hakim, jaksa, polisi dan advokat yang dalam menjalankan profesinya mau ber-mesu budi membuat terobosan yang tidak lazim (dari kaca mata sistem hukum positif) dalam rangka menegakkan keadilan. Satu-dua memang terangkat pamornya, namun kebanyakan justru harus menanggung resiko berat. Alih-alih naik pamor (karena kebanyakan kiprah mereka berada dalam tataran lokal sehingga tidak terekspos), nasib mereka justru tidak terlalu baik. Dalam pusaran “sistem” yang korup, hakim, jaksa, polisi dan advokat yang progresif justru sering dikucilkan oleh lingkungan profesinya.

Hakekat hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar bersifat “vexing” (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalam memberikan makna di balik sebuah gugatan.

-------------
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Advokat, anggota Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP).

(Mys)