Jumat, 11 April 2008

OVERMACHT

Keadaan Memaksa/Overmacht
Pengertian keadaaan memaksa atau overmacht menurut R. Setiawan adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.[1]
Menurut undang-undang ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu :[2]
tidak memenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda obyek perikatan
ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi
faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Apabila terjadi overmacht dan memenuhi unsur a dan c, maka overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Jika terjad overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaa ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitur untuk berbuat.[3]
Keadaan memaksa yang menghalangi pemenuhan prestasi haruslah mengenai prestasinya sendiri, karena kita tidak dapat mengatakan adanya keadaan memaksa jika keadaan itu terjadi kemudian. Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi itu ada tidaknya hanya jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasinya bahkan debitur sendiri yang bersangkutan tidak mungkin atau sangat berat untuk memenuhi prestasi. Penentuannya harus berdasarkan kepada masing-masing kasus.
Debitur tidak harus menanggung risiko dalam keada memaksa maksudnya debitur baik berdasarkan undang-undang, perjanjian maupun menurut pandangan yang berlaku dalam masyarakat, tidak harus menanggung risiko. Selain itu karena keadaan memaksa, debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perjanjian dibuat.
Klausula overmacht atau force majeure biasa dicantumkan dalam pembuatan perjanjian atau kontrak dengan maksud melindungi pihak-pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada di luar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sewajarnya.
Dalam pencantuman klausula overmacht biasanya terdapat penekanan kepada keadaan memaksa yang berada di luar kekuasaan para pihak. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan kewajiban sesuai dengan kontrak.
Keadaan emmaksa menimbulkan berbagai akibat, yaitu :[4]
a. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c. risiko tidak beralih kepada debitur;
d. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
Dalam hal ini kewajiban untuk melaksanakan kontra prestasi menjadi gugur. Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada, yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika keadaa meaksa itu berhenti.
e. hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah :
1. debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi)
2. berdasarkan jabatan hakim tidak dapat menolak gugatan yang berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang emmikul beban untuk membuktikan keadaan memaksa.
Adakalanya bahwa sekalipun debitur tidak bersalah, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena telah diperjanjikan. Perusahaan pengangkutan harus mengangkut barang ke tempat lain. Sekalipun pengangkut telah menggunakan tali yang cukup kuat, tali tersebut putus dan barangnya menjadi rusak. Dalam hal ini memang tidak ada kesalahan pada debitur akan tetapi karena sifatnya perjanjian pengangkutan yang debiturnya harus memberi jaminan, maka debitur harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Adapun bentuk-bentuk keadaan memaksa terdir atas dua bagian, yaitu :[5]
a. Bentuk yang umum, yaitu :
1. keadaan iklim;
2. kehilangan;
3. pencurian
b. Bentuk yang khusus, yaitu :
1. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Undang-undang atau peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan memaksa. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa prestasi tidak dapat dilakukan, akan tetapi prestasi itu tidak boleh dilakukan, akibat adanya undang-undang atau peratueran pemerintah tersebut.
2. Sumpah
Adanya sumpah terkadang menimbulkan keadaan memaksa, yaitu apabila seseorang yang harus berprestasi itu diharuskan atau dipaksa bersumpah untuk tidak melakukan prestasi.
3. Tingkah laku pihak ketiga
4. Pemogokan
Bentuk khusus dari keadaan memaksa ini adakalanya menimbulkan force majeure dan adakalanya tidak.
Pembuktian keadaa memaksa, debitur dapat mengemukakan keadaan memaksa sebagaimana tersebut diatas, dan harus terpenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu :[6]
ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
ia tidak mau menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.
[1] R. Setiawan, hlm. 27
[2] Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hlm 25
[3] Abdulkadir Muhammad, op. cit. hlm. 205
[4] Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hlm, 26
[5] Ibid, hlm. 28
[6] Ibid, hlm. 29

Tidak ada komentar: